Rabu, 12 Juni 2013

Reksadana Syariah

Reksadana Syariah
Pengertian Dan Definisi Reksadana Syariah
Reksa Dana Syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal sebagai pemilik harta ( shabib al-mal/rabb al-mal) untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal menurut ketentuan dan prinsip Syariah islam.
Jenis Reksadana Syariah
BNI DANA SYARIAH
  1. Total unit penyertaan sebesar Rp.500 juta
  2. Dana awal penerbitan sebesar Rp.12,5 milyar
  3. Komposisi portofolio min.80% sd.max.98% di efek pendapatan tetap a.l; Obligasi Syariah SWBI, CD Mudharabah Muqayaddah, CD Mudharabah Mutlaqah, Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank serta efek-efek lain yang bersifat syariah.
  4. Minimum pembelian setiap kali Rp. 1 juta atau maksimum 2% dari total unit yang dijual.
  5. Pembelian reksadana dapat dilakukan di outlet BNI Securities dan BNI Syariah
  6. Biaya pembelian sebesar 0,75% dan biaya penjualan kembali 0%.
  7. Pengalihan ke reksadana non syariah tidak dikenakan biaya
  8. Fasilitas bebas pajak atas return yang diterima dari investor
  9. Imbalan jasa MI pertahun max.1% berdasarkan NAB dihitung secara harian dan dibayar setiap bulan
  10. Imbalan jasa kustodian pertahun max.0,25% dari NAB harian dan dibayar setiap bulan.
  11. Pembayaran penjualan kembali selambat-lambatnya 7 hari kerja (t+7).
Tujuan Investasi BNI Dana Syariah adalah memberikan tingkat pertumbuhan yang stabil dalam jangka panjang kepada para pemodal yang berpegang kepada Syariah Islam dengan hasil investasi yang bersih dari unsur riba' dan gharar.
BNI DANAPLUS SYARIAH
  1. Total unit penyertaan sebesar Rp.500 juta
  2. Dana awal penerbitan sebesar Rp.12,5 milyar
  3. Komposisi portofolio min.48% sd. 98% di efek pendapatan tetap a.l; Obligasi Syariah, SWBI,CD Mudharabah Muqayaddah, CD Mudharabah Mutlaqah, Sertifikat Investasi Mudharabah antar bank serta efek-efek lain yang bersifat syariah dan max.50% pada efek yang bersifat ekuitas a.l. saham prinsip syariah (jii)
  4. Minimum pembelian setiap kali Rp. 1 juta atau maksimum 2% dari total unit yang dijual.
  5. Pembelian reksadana dapat dilakukan dioutlet bni securities dan bni syariah
  6. Biaya pembelian sebesar 0,75% dan biaya penjualan kembali 0%.
  7. Pengalihan ke reksadana non syariah tidakdikenakan biaya
  8. Fasilitas bebas pajak atas return yang diterima dari investor
  9. Imbalan jasa MI pertahun max.1% berdasarkan NAB dihitung secara harian dan dibayar setiap bulan. 
  10. Imbalan jasa kustodian pertahun max.0,25% dari NAB harian dan dibayar setiap bulan.
  11. Pembayaran penjualan kembali selambat-lambatnya 7 hari kerja (t+7).
Tujuan Investasi BNI DanaPlus Syariah adalah memberikan tingkat pertumbuhan nilai investasi yang lebih baik dan optimal dalam jangka panjang kepada para pemodal yang berpegang kepada Syariah Islam dengan  hasil investasi yang bersih dari unsur riba' dan gharar.
KEUNTUNGAN BERINVESTASI DI BNI REKSADANA SYARIAH

  1. Terjangkau (minimum pembelian Rp.1.000.000,-
  2. Likuiditas Terjamin (dapat dicairkan sewaktu-waktu)
  3. Bebas Pajak (bukan objek pajak)
  4. Transparan (investasi ditentukan didepan, audit 1x setahun)
  5. Pengelolaan Portofolio yang profesional
  6. Bebas biaya pencairan (tidak dikenakan penalti)
  7. Hasil yang optimal (dibanding deposito)
  8. Mudah dijangkau dari segala penjuru (ATM,Phoneplus)
  9. Return dihitung berdasarkan perubahan NAB
  10. .Minimum pencairan penjualan Rp.500.000,-
  11. Waktu pencairan penjualan setiap saat
  12. Penalti tidak ada
  13. Biaya pembelian 0,75% dari investasi
  14. Penjualan kembali atau pengalihan tanpa biaya
  15. Proyeksi pencairan penjualan T +1 (maksimum T+7)/bursa 

istishna' paralel

istishna' paralel
Istishna’ Paralel adalah sebuah bentuk akad Istishna’ antara nasabah dan bank syariah, kemudian untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah, bank syariah memerlukan pihak lain sebagai Shani’.
Istishna’ parallel dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
(1) Bank sebagai penjual dalam akad istishna’ dapat membuat akad istishna’ paralel dengan pihak lainnya dengan Bank bertindak sebagai pembeli;
(2) kewajiban dan hak dalam kedua akad istishna’ tersebut harus terpisah;
(3) pelaksanaan kewajiban salah satu akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada akad istishna’ paralel atau sebaliknya;
(4) Jika bank yang bertindak sebagai pembeli dalam akad istishna’ paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam akad istishna’ tidak memenuhi akad istishna’;
(5) Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional
(6) Bank selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah;
(7) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istishna’.

(8) Ketentuan istishna’ berlaku pula pada istishna’ paralel.

RESUME FATWA DSN

RESUME FATWA DSN


1.    Fatwa tentang Asuransi Syariah
Fatwa No. 21: Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa No. 39: Asuransi Haji
Fatwa No. 51: Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah
Fatwa No. 52: Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
Fatwa No. 53: Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah
2.    Fatwa tentang Obligasi Syariah
Fatwa No. 32: Obligasi Syariah
Fatwa No. 33: Obligasi Syariah Mudharabah
Fatwa No. 41: Obligasi Syariah Ijarah
Fatwa No. 59: Obligasi Syariah Mudharabah Konversi
3.    Fatwa tentang Jual Beli Murabahah
Fatwa No. 4: Murabahah
Fatwa No. 13: Uang Muka Murabahah
Fatwa No. 16: Diskon dalam Murabahah
Fatwa No. 23: Potongan Pelunasan dalam Murabahah
Fatwa No. 46: Potongan Tagihan Murabahah (Khashm fi Al-Murabahah)
Fatwa No. 47: Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar
Fatwa No. 48: Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
Fatwa No. 49: Konversi Akad Murabahah
4.    Fatwa tentang Ekspor / Impor
Fatwa No. 34: Letter of Credit (L/C) Impor Syariah
Fatwa No. 35: Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah
Fatwa No. 57: Letter of Credit (L/C) dengan Akad Kafalah bil Ujrah
Fatwa No. 60: Penyelesaian Piutang dalam Ekspor
Fatwa No. 61: Penyelesaian Utang dalam Impor
5.    Fatwa tentang Mudharabah
Fatwa No. 7: Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
Fatwa No. 38: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (Sertifikat IMA)
Fatwa No. 50: Akad Mudharabah Musytarakah
6.    Fatwa tentang Pasar Modal Syariah
Fatwa No. 20: Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah
Fatwa No. 40: Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
Fatwa No. 65: Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah
Fatwa No. 66: Waran Syariah
7.    Fatwa tentang Sertifikat Bank Indonesia
Fatwa No. 36: Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
Fatwa No. 63: Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Fatwa No. 64: Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah
8.    Fatwa tentang Gadai
Fatwa No. 25: Rahn
Fatwa No. 26: Rahn Emas
Fatwa No. 68: Rahn Tasjily
9.    Fatwa tentang Surat Berharga Negara
Fatwa No. 69: Surat Berharga Syariah Negara
Fatwa No. 70: Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
Fatwa No. 72: Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back
10. Fatwa tentang Produk Simpanan
Fatwa No. 1: Giro
Fatwa No. 2: Tabungan
Fatwa No. 3: Deposito
Fatwa No. 24: Safe Deposit Box
11. Fatwa tentang Multi Level Marketing
Fatwa No. 75: Penjualan Langsung Berjenjang Syariah
12. Fatwa tentang Card
Fatwa No. 42: Syariah Charge Card
Fatwa No. 54: Syariah Card
13. Fatwa tentang Musyarakah
Fatwa No. 8: Pembiayaan Musyarakah
Fatwa No. 55: Pembiayaan Rekening Koran Syariah Musyarakah
Fatwa No. 73: Musyarakah Mutanaqisah
14. Fatwa tentang Pasar Uang
Fatwa No. 28: Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Fatwa No. 37: Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah
Fatwa No. 78: Mekanisme dan Instrumen Pasar Uang Antarbank Syariah
15. Fatwa tentang Jual Beli
Fatwa No. 5: Jual Beli Salam
Fatwa No. 6: Jual Beli Istishna’
Fatwa No. 22: Jual Beli Ishtisna’ Parallel
16. Fatwa tentang Ijarah
Fatwa No. 9: Pembiayaan Ijarah
Fatwa No. 27: Al-Ijarah Al-Muntahiyah Bi Al-Tamlik
Fatwa No. 56: Ketentuan Review Ujrah pada LKS
17. Fatwa tentang Hawalah
Fatwa No. 12: Hawalah
Fatwa No. 58: Hawalah bil Ujrah
18. Fatwa tentang Hasil Usaha dalam LKS
Fatwa No. 14: Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
Fatwa No. 15: Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
19. Fatwa tentang Pembiayaan
Fatwa No. 29: Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
Fatwa No. 30: Pembiayaan Rekening Koran Syariah
Fatwa No. 44: Pembiayaan Multi Jasa
Fatwa No. 45: Line Facility (At-Tashilat As-Saqfiyah)
20. Fatwa tentang Hutang dan Piutang
Fatwa No. 19: Qardh
Fatwa No. 17: Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran
Fatwa No. 31: Pengalihan Hutang
Fatwa No. 67: Anjak Piutang Syariah
21. Fatwa tentang Penjaminan
Fatwa No. 11: Kafalah
Fatwa No. 74: Penjaminan Syariah
22. Fatwa tentang SBSN: 
Fatwa No. 69: Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Fatwa No. 70: Metode Penerbitan SBSN
Fatwa No. 71: Sale and Lease Back
Fatwa No. 72: SBSN Ijarah
Fatwa No. 76: SBSN Ijarah Asset to be Leased
23. Fatwa Jasa Lain
Fatwa No. 10: Wakalah
Fatwa No. 62: Akad Ju’alah
24. Fatwa Lain-lain
Fatwa No. 18: Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
Fatwa No. 43: Ganti Rugi (Ta’widh)


----------)0(----------

Selasa, 02 April 2013


1. Pengertian Istishna’
Berasal dari kata ﺻﻧﻊ (shana’a) yang artinya membuat kemudian ditambah huruf alif, sin dan ta’ menjadi ﺍ ﺴﺗﺻﻧﻊ (istashna’a) yang berarti meminta dibuatkan sesuatu.
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta di buatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat di buatkan oleh penjual, atau meminta di buatkan secara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.
Contohnya seseorang pergi ke salah satu tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi atau tukang jahit. Lalu mengatakan; “Tolong buatkan untuk saya barang anu sejumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesananan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.
Transaksi Bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah di sepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atsa harga serta sistem pembayaran di lakukan di muka, melalui cicilan atau di tangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.
Menurut Ulama fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya jenis ini di pergunakan di bidang manufaktur dan konstruksi. Dengan demikian ketentuan bai’ al-istishna, mengikuti ketentuan dan aturan bai’ as-salam.
2. Dasar Hukum Istishna’
 Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-hadits
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)
Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.
1. Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
2. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama,
3. keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
4. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
3. Rukun dan Syarat Istishna
Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
  1. muslam atau pembeli
  2. muslam ilaih atau penjual
  3. modal atau uang
  4. muslam fiihi
  5. sighat atau ucapan


4. Syarat Bai’ al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a. Modal Transaksi Bai al-istishna’
  1. Modal Harus di ketahui.
  2. Penerimaan pembayaran salam.
b. Al-muslam fiihi (Barang)
  1. Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
  2. Harus bisa di identifikasi secara jelas
  3. Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
  4. Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
  5. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
  6. Tempat penyerahan.
  7. Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
6. Istishna’ Pararel
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat di lakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
  1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
  2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontraktersebut tidak memunyai kaitan hukum samasekali.
  3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkankeabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
7. Perbedaan antara Salam dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
  1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
  2. salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’
SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Pararel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.